konten 1
konten 2
konten 3

Tuesday 12 June 2012

Trend Batik

BATIK tengah berada di puncak tren fashion Tanah Air. Di mana-mana orang ”mendadak batik”. Batik yang dulu identik dengan acara resmi dan digunakan orangtua kini mengalami revolusi.

Tidak aneh lagi menyaksikan anak muda berbatik ria, seperti ke kampus atau jalan-jalan ke mal. Aneka desain baju batik dilahirkan dan populer, seperti baby doll, balon, dan kerut. Namun, sampai kapan fenomena ini akan berlangsung?

Tren batik didorong berbagai faktor. Salah satunya, peran perancang busana yang memunculkan tren batik. Edward Hutabarat, yang dinilai sebagai pelopor batik ready to wear, tahun 2006 mengeluarkan rancangan model A line, jaket panjang longgar, blus halter neck, jaket bergaya kimono, dan celana pendek yang ternyata disambut antusias masyarakat.

Lidwina CH (22) misalnya. Ia baru saja membeli busana batik pertamanya yang bermotif klasik Yogyakarta. ”Batik kan lagi tren. Pilihannya banyak, modelnya juga lucu-lucu,” ujar mahasiswi asal Bekasi ini di Pasar Tanah Abang, Selasa (9/9).

Booming batik juga didorong oleh kebijakan pemerintah daerah dan instansi swasta yang mewajibkan pegawainya mengenakan batik sehari dalam sepekan, belum lagi klaim Malaysia atas batik, yang tampaknya meningkatkan minat orang berbatik.

Gairah pasar

Tren busana batik membuat transaksi batik bergairah. Secara nasional nilai produksi batik terus meningkat, terutama sejak tahun 2004. Berdasarkan data Direktorat Industri Sandang, Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian, tahun 2006 nilai produksi batik Rp 2,9 triliun. Pada tahun 2007 produksi meningkat menjadi Rp 3,045 triliun.

Bergairahnya perdagangan batik bisa dilihat di Pasar Tanah Abang, Jakarta, pusat garmen dan tekstil terbesar di Indonesia. Menurut Asisten Manajer Operasi PD Pasar Jaya Area 1 Tanah Abang M Yusuf, dari 12.000 tempat usaha di Tanah Abang, 30 persen menyediakan busana dan kain batik. Omzet penjualan tiap pedagang diperkirakan Rp 7,5 juta-Rp 10 juta per hari. ”Tren batik membuat banyak pedagang yang awalnya tidak berjualan batik jadi menyediakan batik,” kata Yusuf.

Pernyataan Yusuf diamini Hasan Basri, pengusaha busana yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta. ”Batik kini menjadi andalan banyak pedagang dalam berjualan karena permintaan masyarakat yang tinggi sehingga omzetnya meningkat,” katanya.

Sebagai contoh, peningkatan omzet dialami pasangan Finaldi dan Afrida yang mempunyai lima toko batik di Pasar Tanah Abang Blok A. ”Satu kios yang semula beromzet Rp 1 juta per hari setelah tren batik bisa naik 10 bahkan 15 kali lipat,” kata Finaldi yang mendapat kiriman kain batik dari Pekalongan.

Hal serupa dialami Mustofa Syahab dari batik Alhadi di Tanah Abang. Tahun ini penjualan batiknya meningkat hingga delapan kali lipat dari tahun sebelumnya. Rata-rata per hari ia bisa menjual tiga bal kain batik. Satu bal terdiri dari 15 kodi dan satu kodi berisi 20 potong.

Menurut Hasan Basri, konsumen menyukai batik dengan motif dari Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan Cirebon yang dikemas menjadi berbagai macam busana. Mulai dari busana Muslim sampai pakaian sehari-hari. ”Pembeli batik di Tanah Abang datang dari seluruh Indonesia. Bahkan, ada yang dari luar negeri,” kata Hasan.

Afrida mengatakan, secara rutin ia mengirim batik ke Singapura, Malaysia, dan Filipina. Sebagian batik yang dijual berasal dari Pekalongan karena harganya relatif murah, motif beragam dengan corak warna cerah yang disukai konsumen domestik maupun luar negeri.

Di Yogyakarta, desainer Mirota Batik, Yoyonk Genji, mengatakan, booming batik terlihat dari peningkatan penjualan busana batik. Penjualan tahun 2008 melonjak hingga 100 persen dibanding 2007. Menjelang Lebaran ini angka penjualan meningkat lagi 30 persen. Di Yogyakarta setiap tahun diadakan promosi batik, di antaranya melalui pergelaran busana Jogja Fashion Week.

Pengusaha batik di Pekalongan, Rusdianto, mengungkapkan, ia memasok baju batik untuk tiga toko di Pasar Tanah Abang dan satu toko di ITC Cempaka Mas, masing-masing 100 kodi per bulan. Ini meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya.

Mempertahankan tren

Untuk menyiasati tren fashion yang cepat turun, perajin dan pengusaha batik melakukan berbagai cara untuk mempertahankan. Batik Alhadi, misalnya, menyebarkan model rancangan baju melalui ribuan brosur dan internet.

Finaldi dan Afrida merancang sendiri model baju batik yang mereka jual agar berbeda dengan produk pesaing. Mirota Batik juga demikian. ”Menjelang Lebaran kami meluncurkan batik yang dikombinasi dengan kain jeans. Tanggapan masyarakat cukup bagus,” tutur Yoyonk.

Perancang busana Afif Syakur menuturkan, tren batik yang sedang terbang tinggi mengangkasa bukan tidak mungkin menukik kembali ke bawah. ”Tren itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Pekerjaan rumah terbesar adalah menjaga tren ini agar tidak berlangsung sesaat,” ujar Afif yang juga Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ”Sekar Jagad”.

Masukan datang dari Mawarzi Idris, anggota Yayasan Batik Indonesia. Menurut dia, kreativitas dan inovasi harus terus dilakukan mulai dari bahan, desain, sampai motif batik. ”Kekuatan batik Indonesia ada pada motifnya yang indah dan beragam. Mengawinkan motif dari berbagai daerah akan semakin memperkaya motif yang ada. Kreator dalam negeri sudah sangat luar biasa. Tinggal bagaimana mempromosikan,” katanya.

Kuncinya terletak pada konsistensi dan komitmen seluruh pihak mengembangkan batik yang seiring dinamika zaman.

(Adi Sucipto/Erwin Edhi Prasetya/Sri Rejeki)

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/09/29/15500337/tren.batik.sampai.kapan

No comments:

Post a Comment