konten 1
konten 2
konten 3

Tuesday 12 June 2012

Batik Tulis Nita Azhar




Oleh: AGUNG SETYAHADI
Senyum selalu merekah di bibir Nita Azhar setiap kali bertemu orang lain. Tegur sapanya ramah menebar kehangatan, tatap matanya teduh. Sikap lembut itu membungkus tekadnya melestarikan tradisi batik tulis yang tertuang dalam setiap busana rancangannya.
Busana batik rancangan Nita telah menembus dunia. Tiga di antaranya dikenakan kontestan Miss Universe dari Puerto Riko (2001), Rusia (2002), dan Republik Dominika (2003).
Menjadi perancang busana sebenarnya jauh di luar angan Nita yang lebih akrab dengan dunia teater sejak kecil. Kariernya di dunia teater mencapai puncak saat dia memerankan Ratu Dara, tokoh utama dalam naskah Panembahan Reso karya WS Rendra. Cerita berdurasi delapan jam itu dipentaskan pada tahun 1986 di Senayan, Jakarta, selama tiga malam berturut-turut.
”Waktu itu saya masih menyusui anak pertama, Surya Gumilang (sekarang berusia 23 tahun). Jadinya di sela-sela pentas, saya berusaha menyusui anak saya. Pentas itu memang melelahkan, tetapi saya puas,” ucap istri dari Albert A Razak ini.
Keterkaitan Nita dalam jagat mode bisa dikatakan dimulai ketika ia mengikuti lomba desain busana yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Perancang Mode Indonesia (PAPMI) DI Yogyakarta-Jawa Tengah. Di luar dugaan, desain bertema batik jumputan buatannya itu terpilih menjadi yang terbaik.
Setelah itu, Nita sering diajak mengikuti peragaan busana oleh para desainer senior yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).
”Kebetulan desain baju-baju saya selalu laku (terjual), dan itu yang membuat saya semakin yakin bahwa dunia mode adalah jalan hidup saya,” ujar Nita.
Padahal, kedua orangtua Nita yang bekerja di bank menginginkan dirinya mengikuti jejak keluarga untuk berkarier di dunia perbankan. Namun, Nita akhirnya bisa meyakinkan orangtua bahwa pilihan kariernya adalah yang paling sesuai dengan dirinya. Dunia mode juga bisa menjadi gantungan hidup, tidak kalah dibandingkan sektor formal.
Cabang kesenian Jawa
Sejak awal Nita memfokuskan pada desain motif batik. Ia memasukkan cabang-cabang kesenian Jawa dalam motif batiknya, mulai dari wayang, topeng, hingga ornamen warangka (kerangka) keris. Kedekatannya dengan batik dan dunia kesenian Jawa telah melatarbelakangi pilihan motif-motif rancangannya.
Nita mengenal batik dari sang nenek yang sering membatik untuk mengisi waktu senggang seusai menunaikan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Neneknya juga memiliki koleksi batik yang relatif banyak. Setiap beberapa bulan sekali, Nita yang waktu itu masih kanak-kanak diajak sang nenek mengeluarkan kain-kain batik dari lemari untuk diangin-anginkan, kemudian dilipat lagi dan disimpan.
”Belakangan kenangan itu membuat saya ingin membuat batik dan menampilkannya ke berbagai penjuru dunia,” kata ibu tiga putra ini.
Adapun dari sang kakek, Nita mengenal tokoh-tokoh dan cerita-cerita wayang kulit. Menjelang tidur, kakeknya selalu mendalang sebagai pengantar tidur si cucu. Masa kecil Nita juga diisi dengan memainkan gamelan dan wayang kulit koleksi sang kakek. Unsur-unsur kesenian Jawa itu kemudian menjadi ciri khas rancangan Nita.
”Saya ingin mengenalkan budaya Indonesia melalui motif-motif (batik) yang kita punya. Kekayaan budaya kita itu sangat banyak, tetapi masih relatif sedikit orang yang tahu,” ujarnya.
Meskipun Nita hidup di dunia ”wangi” jagat mode, penampilan sehari-harinya jauh dari citra glamor. Dia lebih nyaman mengenakan celana jins dan kemeja katun, seperti saat masih menggeluti dunia teater. Penampilan itulah yang menjaga dia untuk tetap dekat dengan komunitas seniman, mbok-mbok penjual sayur di pasar, hingga anak-anak jalanan.
Baginya, dunia ”wangi” tidak akan berarti jika orang di dalamnya tercerabut dari akar budayanya sendiri, apalagi lantas terjebak dalam gemerlap komunitas semu. Oleh karena itulah, Nita memilih konsisten dengan penampilan yang bisa terus mendekatkan dia dengan lingkungan di sekitarnya.
Jiwa sosial Nita pun mengantarnya ke berbagai kegiatan amal. Pascagempa bumi di Yogyakarta (2006), ia bersama sejumlah desainer menggelar lelang amal yang semua hasilnya disumbangkan untuk para korban gempa bumi. Dia juga turut andil dalam Peragaan Busana Tsunami Charity Night di Guangzhou, China, dan Hongkong.
”Yang bisa saya berikan hanya karya-karya saya. Saya berkomitmen untuk mendukung setiap kegiatan amal karena inilah yang membuat kita berarti dalam masyarakat,” ujar perempuan bernama lengkap Sukmawati Nita Lestari ini.
Motif wayang beber
Salah satu karya monumental Nita adalah motif batik wayang beber yang sudah jarang dikenal masyarakat Indonesia. Wayang beber hanya tersisa di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Pacitan, Jawa Timur. Batik bermotif wayang beber itu dipamerkan pertama kali dalam ulang tahun ke-20 Sister City Yogyakarta-Kyoto tanggal 11-20 November 2005.
Busana batik bermotif wayang beber itu dipresentasikan dengan warna-warna alami seperti warna tanah, emas, tembaga, dan panah. Warna-warna alami itu sengaja dia pilih karena bernuansa ”keras”—dalam arti kegigihan untuk mengangkat nama Indonesia, kegigihan desainer Indonesia yang ingin mengangkat potensi bangsa ini ke kancah internasional.
”Pameran saya ke luar negeri selalu batik supaya orang luar (negeri) tertarik dengan Indonesia. Dengan melihat rancangan batik saya, mereka sebenarnya saya ajak untuk mengenal lebih jauh tentang Indonesia. Batik merupakan salah satu media yang bagus untuk mempromosikan Indonesia,” tutur Nita.
Dia menilai batik merupakan kekuatan bangsa Indonesia, tetapi terancam luntur karena kurang diperhatikan. Perajin batik relatif semakin terpinggirkan dan regenerasi perajin batik bisa dikatakan semakin sulit. Kondisi ini yang mendasari Nita untuk terus setia pada batik tulis.
Batik tulis, bagi dia, tak sekadar sebuah karya dengan motif yang dirancangnya sedemikian rupa agar bisa mewujudkan ”kekhasan” Indonesia. Tetapi, Nita juga berharap lewat batik tulis, para perajin batik pun bisa tetap menorehkan cairan malam melalui ujung canting. Ada kesinambungan yang tak terputus di sini.
Nita memaknai batik dengan memasukkannya dalam dunia ”wangi” yang digelutinya. Batik yang mewakili kerajinan tradisional, dan mode yang mewakili industri modern, dia pertemukan menjadi media untuk mengangkat budaya Indonesia.
Melalui tangannya yang lentur, Nita berusaha merancang motif-motif batik yang menebar pesona budaya Indonesia agar semakin diperhitungkan di dunia internasional.

Sumber:  http://nasional.kompas.com/read/2008/12/26/23375334/dunia.batik.tulis.nita.azhar

No comments:

Post a Comment